Sejarah Bioskop Indonesia dari Masa Hindia Belanda – Budaya menonton film di Indonesia dibawa oleh orang-orang Belanda dari daratan Eropa sebagai bagian dari hiburan masyarakat. Sebelumnya, masyarakat yang menginginkan hiburan pertunjukkan hanya dapat menikmati teater. Orang-orang menyebutnya sebagai Toneel Melajoe. Pertunjukkan Toneel Melajoe sendiri menyajikan sandiwara cerita yang mengangkat kisah-kisah dari luar negeri. Contohnya seperti Dongeng 1001 Malam yang seringkali diangkat dalam lakon cerita. Saking banyaknya cerita yang diangkat berlatarkan wilayah Istanbul maka muncul sebutan baru untuk pertunjukkan ini yakni Komedie Stamboel.
Bioskop pertama
Pada 5 Desember 1900 sebuah surat kabar Bintang Betawi menampilkan sebuah pengumuman tentang pertunjukkan film untuk pertama kalinya akan dimainkan di Batavia. Di dalam iklan disebutkan bahwa Nederlandsch Bioscoop Maatschappij akan memutar sebuah film di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae (Manage) pada pukul tujuh tiap malamnya. Masyarakat yang ingin menonton diharuskan membeli tiket sekitar f 0.25 sampai f 2 sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Film yang dimainkan ketika itu adalah film dokumenter dan tidak bersuara. Film bercerita baru muncul pada tahun 1903. Sedangkan film yang memuat suara para aktornya baru muncul pada tahun 1929. Gambar yang disajikan pun masih bersifat sederhana bahkan sering bergetar dan goyang. Kondisi ini membuat penonton di bioskop menjadi kecewa sehingga jumlahnya tidak signifikan.
Namun, pengusaha bioskop mulai mencari akal untuk menggaet para penonton lebih luas. The Royal Bioscope salah satu perusahaan bioskop di Batavia sempat menurunkan harga tiketnya. Mereka juga membagi kelas-kelas dalam gedung bioskop berdasarkan ras. Hal ini juga sebagai bagian dari politik rasial yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda https://www.kgplombokbarat.com/
Undang-Undang Film dan Bioskop
Berkembangnya perfilman dan menjamurnya bisnis bioskop di Hindia Belanda membuat pemerintah kolonial bergerak untuk mengatur masuknya film-film asing ke dalam negeri. Apalagi semakin banyak perusahaan importir film di Hindia Belanda yang membuat film-film dari luar negeri bebas masuk. Hal ini mendorong pemerintah membentuk Ordonansi Bioscoope pada tahun 1916. Namun, keberadaan ordonansi ini tidak membatasi gerak para importir film. Dalam buku Politik Film di Hindia Belanda dituliskan bahwa Ordonansi Bioscoope lebih bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan. Ordonansi ini seringkali dikenal sebagai komisi sensor. Komisi ini diberlakukan di Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya yang merupakan pintu gerbang dari masuknya film-film impor.
Pembentukan komisi sensor ini juga merupakan bentuk tanggapan atas isi film impor yang memuat perilaku buruk orang-orang barat. Tidak jarang dalam film impor tersebut terdapat adegan kekerasan sehingga memunculkan kesadaran penonton pribumi terhadap citra orang barat. Pemerintah menganggap bahwa adegan-adegan tersebut harus disensor supaya tidak mempengaruhi perilaku kehidupan pribumi.
Namun dalam kenyataannya, komisi sensor tidak dapat membatasi film mana saja yang dizinkan atau pun yang ditolak. Orang cenderung melihat bahwa komisi sensor hanya berkepentingan pada cukai impor dan pajak tontonan. Peluang ini justru dinikmati oleh segenap importir film Hindia Belanda. Mereka memutar film apa pun di bioskop sesuai dengan permintaan pasar. Bahkan film-film di bioskop Hindia Belanda justru lebih cepat ditayangkan dibandingkan dengan di negeri Belanda. Pada tahun 1919, undang-undang perfilman kemudian direvisi. Komisi sensor tidak hanya digerakkan di empat kota, melainkan semakin diperluas di beberapa daerah. Langkah ini dilakukan untuk membendung peredaran film impor. Bahkan pemerintah daerah setempat berhak ikut menyeleksi film-film apa saja yang diperbolehkan untuk ditayangkan di bioskop.
Jepang masuk
Pendudukan Jepang ke Hindia memiliki dampak yang cukup besar dalam bisnis bioskop dan perfilman. Sejak Maret 1942, Jepang melarang seluruh kebudayaan barat di Hindia termasuk film-film impor yang kebanyakan berasal dari Amerika. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian menggantinya dengan film-film Jepang yang banyak diputar di bioskop. Dalam buku Sejarah Film Indonesia yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran menyatakan bahwa film-film yang dimainkan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang harus berisikan pesan antibarat. Ide dan pengaruh barat yang nampak dalam film harus dilenyapkan dan digantikan dengan semangat kehidupan Jepang. Bagi pemerintah Jepang, film dimanfaatkannya sebagai wadah menghilangkan nilai-nilai barat di dalam masyarakat.
Pada Oktober 1942 Jepang juga mendirikan organisasi khusus untuk menangani film yang bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) dikepalai oleh S.Oya. Sesudah itu, Jepang juga mendirikan badan usaha film yang bernama Nippon Eiga Sha yang juga dikenal dengan Nichi’ei. Perusahaan ini bertugas untuk memonopoli distribusi film-film ke bioskop. Oleh karena itu, film yang dibawa oleh Jepang masuk ke Indonesia merupakan film-film propaganda mengenai kehebatan Jepang.
Perang Revolusi
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, keadaan perfilman Indonesia masih belum pulih. Hal ini juga berdampak pada bisnis bioskop yang masih lesu karena tidak adanya film dalam negeri yang diputar maupun minimnya impor film luar negeri. Saat itu masyarakat Indonesia masih disibukkan dengan perang revolusi yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda.
Namun, pemutaran film di bioskop sepanjang perang kemerdekaan tidaklah benar-benar berhenti. Orang-orang Belanda terutama mereka yang tergabung dalam tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) mencoba membangun kembali bioskop-bioskop di beberapa kota yang mereka kuasai. Para tentara NICA membutuhkan film sebagai sarana hiburan mereka ketika perang. Sehingga, beberapa film impor diperbolehkan untuk diputar di bioskop meskipun masih sedikit.